Jumat, 18 Desember 2020

Bekal Mencari Ilmu Menurut Imam Syafi'i - Plus 10 Prinsip

Bekal Mencari Ilmu Menurut Imam Syafi'i

Bekal mencari ilmu : Komponen keempat kesuksesan dalam menuntut ilmu adalah bekal. Bekal merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menuntut ilmu. Seorang pelajar tentunya sangat membutuhkan buku-buku dan alat-alat tulis, biaya perjalanan, dan ongkos hidup selama ia menuntut ilmu. Karena itu, bekal adalah salah satu faktor yang harus dipersiapkan seseorang ketika ia hendak menuntut ilmu. 


bekal mencari ilmu
Bekal mencari ilmu

Bekal para Ulama dalam Menuntut Ilmu

Kita belajar tentang bekal menuntut ilmu dari kisah para ulama.

Diriwayatkan, menjelang keberangkatan Abdul Qadir Jaelani ke Baghdad untuk menuntut ilmu, ibunya membekali Abdul Qadir dengan 80 keping uang emas yang dijahitkan pada bagian dalam mantelnya, persis di bawah ketiaknya.

Uang ini adalah warisan dari almarhum ayahnya, dimaksudkan untuk menghadapi masa-masa sulit. Kala hendak berangkat, sang ibu berpesan agar Abdul Qadir tidak berdusta dalam segala keadaan. Sang anak berjanji untuk seantiasa mencamkan pesan tersebut.

Bagitu kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan, mereka dihadang segerombolan perampok. Kala menjarah, para perampok itu sama sekali tak memperhatikan Abdul Qadir karena ia tampak begitu sederhana dan miskin.

Kebetulan salah seorang perampok menanyainya : “Apakah ia mempunyai uang atau tidak?”

Ingat akan janjinya kepada sang ibu, si kecil Abdul Qadir segera menjawab, “Ya, aku mempunyai 80 keping uang emas yang dijahitkan di dalam baju oleh ibuku”.

Tentu saja para perampok itu terkejut keheranan. Mereka lalu membacanya kepada pemimpinnya, lalu menanyainya, dan mendapat jawaban yang sama.

Begitu jahitan pada baju Abdul Qadir dibuka, didapati 80 keping uang emams, sebagaimana dinyatakannya. Sang kepala perampok terkagum-kagum. Abdul Qadir kemudian menceritakan perjalannya yang membuat kepala perampok menangis dan jatuh terduduk di kaki Abdul Qadir, dan menyesali semua dosa yang dilakukannya.

Kisah ini menggambarkan bagaimana kasih sayang seorang ibu kepada anaknya yang hendak pergi belajar. Sang ibu memberikan 3 bekal menuntut ilmu pada putranya : restu, nasehat, dan uang yang cukup banyak untuk ukuran saat itu.

Isham Yusuf al Balakhi ketika suatu hari mendengar pembahasan sebuah masalah, segera ia membeli sebuah pena seharga satu dinar agar bisa segera menuliskannya seraya berkata, 

“Umur amat singkat dan ilmu amat banyak, maka sudah sewajarnya seorang pelajar tidak menyia-nyiakan waktunya. Raih setiap kesempatan, selalu dekat dengan ulama dan mengambil manfaat dari mereka, karena apa yang telah berlalu tak mungkin bisa dikejar. Saya tidak mampu mengejar apa yang telah berlalu hanya dengan penyesalan atau kalimat ‘kalau saja’ dan ‘seandainya’.”

Ya, jika ada ilmu yang lewat langsunglah tangkap, jika dibiarkan hanya penyesalan yang kita dapat. Tapi, untuk menangkap ilmu kita perlu alat. Pena dan kertas di tangan harus selalu lekat. Tapi, bagaimana alat-alat itu bisa kita dapat jika masalah bekal tak pernah kita ingat. Bisa kita bayangkan bekal menuntut ilmu yang sudah beliau siapkan?

Muhammad bin Salam al Bikandi, guru Imam Bukhari pada suatu hari menghadiri sebuah majelis ilmu. Pada waktu itu, gurunya sedang mendiktekan hadits kepada murid-muridnya. Di tengah keasyikannya menulis, tiba-tiba penanya patah. Saat itu juga beliau beseru, “Siapa di anatara kalian yang mau menjual pena miliknya seharga satu dinar ( satu harga yang telalu mahal untuk sebuah pena )?” Semua orang yang mendengar berdatangan kepadanya untuk menjual pena.

Abu Ghuddah berkata, “Ketahuilah bahwa segala biaya mahal yang beliau keluarkan, tidak lain dan tidak bukan, karena beliau mengetahui arti dan nilai waktu yang begitu mahal dan pentingnya ilmu yang didiktekan kepadanya”.

Sahabat sekalian, fahamilah keterangan ini. Persiapkanlah bekal jika Anda hendak belajar. Persiapkan bekal menuntut ilmu berupa uang, alat tulis, makanan dan minuman, serta semua perlengkapannya yang memang diperlukan demi kesuksesan dalam belajar.

Prinsip Menuntut Ilmu

Sebagai tambahan, berikut ini 10 prinsip yang perlu dimiliki oleh semua pembelajar sebagai bekal menuntut ilmu. Ini juga merupakan sebagaian ada dalam menuntut ilmu.

1. Senantiasa meminta pertolongan kepada Allah

Semua yang terjadi pada manusia sudah diatur oleh Allah. Tidak ada satu pun kejadian atau peristiwa yang terjadi di dunia ini melainkan atas izin Allah. Apa yang kita terima semuanya merupakan pemberian dari Allah. Ilmu semuanya miliki Allah dan hanya diberikan kepada yang dikehendaki-Nya.

Oleh karena itu, hal prinsip pertama yang perlu dimiliiki adalah perasaan lemah dan tidak berdaya kecuali atas pertolongan Allah. Meminta tolong supaya dikuatkan niat dalam menuntut ilmu dan minta tolong diberi keikhlasan selama prosesnya.

Ketika prinsip pertama ini sudah kita miliki, maka ketawaqalan kepada Allah akan semakin kuat. Dan sebagaimana Allah sebutkan di dalam Al Quran bahwa barang siapa yang benar-benar bertawakal, maka Allah akan memberinya rizki. Diberi rizki seperti Allah memberi rizki burung yang yang berangkat dalam keadaan lapar, dan pulang dalam keadaan kenyang.

Dan seperti kita ketahui bersama, rizki itu bukan hanya harta atau uang saja, tapi ilmu juga termasuk rizki. Prinsip ini merupakan bekal menuntut ilmu yang utama.

2. Membersihkan niat

Seperti yang Rasulullah saw sabdakan bahwa segala amal itu tergantung pada niatnya. Semua yang dilakukan baik itu suka maupun duka selama menuntut ilmu bisa bernilai ibadah ataupun sebaliknya tergantung pada niatnya.

Ketika niatnya untuk dunia, maka dia akan mendapatkan dunia saja. Tapi ketika niatnya ikhlas, maka insyaAllah dia akan mendapatkan dunia dan juga akhirat.

Hal penting yang perlu diwaspadai bagi setiap orang yang menunut ilmu adalah riya atau tidak ikhlas. Selain tidak akan mendapatkan pahala, ia juga akan mendapatkan adzab. 

Di dalam hadits riwayat Muslim 1905 dikatakan bahwa nanti pada hari kiamat akan Allah panggil orang yang mempelajari ilmu. Ketika ditanya apakah ia ikhlas? Ternyata dijawab oleh Allah sebagai dusta/bohong. Ternyata ia belajar ilmu karena ingin dikatakan sebagai ‘alim, orang pintar atau orang yang berilmu. Maka Allah perintahkan malaikat untuk menyeretnya kedalam neraka. (Naudzubillahi min dzalik). Semoga kita dijauhkan dari sifat seperti ini.

3. Memohon Taufik kepada Allah 

Menyadari bahwa ilmu yang didapatkan itu semua bersumber dari Allah, dan ilmu tersebut tidak akan bisa bermanfaat kecuali atas izin Allah. Berapa banyak manusia yang mempunyai banyak ilmu, akan tetapi belum bisa untuk mengaplikasikan atau menerapkan ilmu yang dimilikinya. 

Orang yang diberi taufik oleh Allah, maka buka saja ia memiliki ilmunya, akan tetapi ia juga diberi kekuatan oleh Allah untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan illmu yang dimilikinya.

Senantiasa memohon ilmu kepada Allah merupakan perintah yang diberikan kepada Nabi-nya seperti tercantum di al Quran surat Thaha ayat 114. 

“Dan katakanlah wahai Rabbu, tambahkanlah ilmu untukku”

Dan salah satu doa dari Nabi Ibrahim adalah meminta hikmah dan memohon dimasukkan ke dalam golongan orang-orang shaleh ( Asy Syu’ara : 83 )

4. Menjaga hati senantiasa sehat

Nabi Muhammad bersabda bahwa di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, dan ia yang akan menentukan apakah jasad itu baik atau buruk. Ketika hati itu baik maka jasadnya pun akan menjadi baik. Dan begitupun sebaliknya, ketika hati itu jelek, maka jasadnya pun akan menjadi jelek.

Salah satu ikhtiar untuk menjaga hati adalah dengan memperbanyak ibadah seperti shalat.

Dan ikhtiar yang perlu dilakukan untuk menjaga hati supaya sehat adalah menghindari penyakit-penyakit hati. Penyakit hati terbagi menjadi 2, yaitu syahwat dan syubhat.

5. Miliki kecerdasan

Allah sudah mengaruniakan manusia kecerdasan, dan Allah pun telah membaginya berbeda-beda kepada setiap manusia. Ada yang Allah beri kecerdasan lebih yang didapat dengan usaha yang sedikit, tapi ada juga yang Allah beri kecerdasan yang didapatkan dengan ikthiar lebih besar.

6. Semangat untuk menuntut ilmu

Sudah menjadi fitrah manusia ketika dia tahu apa yang akan didapat dari yang dikerjakan, maka ia akan semangat. Oleh karena itu, sangat penting bagi orang yang menuntut ilmu tahu apa saja keutamaan yang akan diperoleh. 

Dengan tahu apa manfaat dari menutut ilmu, insyaAllah dia akan memiliki semangat. Dan dengan semangat inilah ilmu akan semakin mudah didapatkan. Semua halangan akan dilalui dan keinginan untuk menambah ilmu akan terus berkobar.

7. Sungguh-sungguh dan istiqomah

Setiap kesuksesan memerlukan kesungguhan dan keistiqomahan dalam melakukan apa yang perlu untuk dilakukan. Tidak ada orang yang sukses dengan malas-malas. 

Menuntut ilmu seperti bertani dimana ia memerlukan ikhtiar yang banyak dan juga istiqomah. Menjaga tanaman tumbuh subur dengan memberinya pupuk dan juga menyingkirkan hama atau juga rumput yang bisa mengganggu pertumbuhan benih. 

Ketika semua itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, maka dia baru bisa mendapatkan hasilnya.

8. Konsentrasi atau fokus

Segala sesuatu yang dilakukan dengan fokus atau konsetrasi maka hasilnya akan lebih baik dan sempurna. 

9. Mempunyai guru

Ilmu dari Allah memerlukan perantara untuk bisa mendapatkannya. Dan perantara yang terbaik adalah seorang guru. Melalui guru kita bisa belajar lebih mudah karena ia akan menunjukkan apa yang perlu dilakukan untuk bisa mendapatkan ilmu yang diinginkan. Dan ia juga bisa memberi kita evaluasi atau menegur apabila kita melakukan kesalahan.

Hindari belajar hanya dengan bermodalkan buku. Hal ini sangat berbahaya karena rawan dalam miss komunikasi, atau salah memahami isi atau tujuan dari si penulis.

10. Memiliki nafas panjang

Menuntut ilmu merupakan perjalanan panjang yang hanya akan berakhir ketika meninggal dunia. Dan ilmu juga hanya akan bisa dinikmati hasilnya memerlukan waktu yang panjang. Oleh karena itu merupakan prinsip yang harus dipegang oleh orang yang menuntut ilmu bahwa ia harus memiliki nafas panjang.

Semoga artikel tentang bekal menuntut ilmu dan juga adab mencari ilmu ini bermanfaat.


Rabu, 16 Desember 2020

Tamak dalam Menuntut Ilmu - Tamak yang diperbolehkan dalam Islam

 

Tamak dalam Menuntut Ilmu

Komponen ketiga untuk meraih sukses menurut Imam Syafi’i adalah tamak dalam menuntut ilmu. Sifat tamak adalah sifat yang buruk, kecuali dalam menuntut ilmu. Tanpa ketamakan dalam menuntut ilmu, gairah kita dalam belajar akan sangat lemah.


tamak dalam menuntut ilmu
Tamak dalam menuntu ilmu


Dalil tentang Tamak

Karena itulah Rasulullah saw memuji abu Hurairah yang tamak dalam mengumpulan hadits. Abu Hurairah pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling bahagia dengan syafaat engkau pada hari kiamat?”

Rasulullah bersabda, “Sungguh aku telah menyangka, wahai Abu Hurairah agar tidak seorangpun mendahuluimu bertanya kepadaku tentang hal-hal ini karena aku mengetahui ketamakanmu terhadap hadits. Orang yang paling bahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan La Ilaha Illalah dengan tulus dari hatinya atau jiwanya”. ( Hadits tamak dalam menunut ilmu )

Sebagaimana orang orang tamak pada harta dunia dikelilingi oleh bermacam benda, emas, dan permata, orang yang tamak ilmu memenuhi dirinya dengan pengetahuan yang berharga.

Jika perhatian utama orang yang tamak adalah pada harta benda dan tidak mau menyia-nyiakan sedetikpun dari waktunya bila tak menghasilkan sejumlah uang. Maka seorang yang tamak ilmu tak sudi meluangkan waktu barang sedetikpun kecuali untuk menuntut ilmu.

Tamak yang diperbolehkan dalam Islam

Apakah tamak dalam menuntut ilmu diperbolehkan ?

Syuja’ bin Makhlad menuturkan bahwa ia pernah mendengar Abu Yusuf bercerita, “Ketika anakku meninggal, aku tak sempat melihat jenazahnya dan tidak pula ikut menguburnya. Kuserahkan semua itu kepada tetangga dan kerabat dekat, karena aku tak ingin mengalami penyesalan selama-lamanya karena meninggalkan pelajaran Abu Hanifah meskipun sekali”.

Orang yang gila harta tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan uang satu rupiah, walaupun harus dengan mengorbankan nyawa. Begitu pula keadaannya bila seseorang sudah gila ilmu, ia tak mau menyia-nyiakan sedetikpun waktu yang dimilikinya untuk melakukan suatu aktivitas yang tidak menghasilkan ilmu.

Ubaid bin Ya’isi, guru Imam Bukhrai dan Imam Muslim berkata, “Sekitar 30 tahun saya tidak pernah makan malam dengan tangan saya sendiri, melainkan saudara perempuan saya selalu menyuapi sementara saya menulis hadits”.

Al Jahid Amr bin bahr, imam para sastrawan, apabila mendapatkan sebuah buku, beliau langsung membaca dan menamatkannya. Bahkan beliau menyewa beberapa toko buku yang ada di pinggir jalan dan bermalam di sana untuk membaca buku-buku yang ada di sana.

Jadi, tamak dalam menuntut ilmu itu diperbolehkan dalam Islam.

Kisah para Ulama yang Tamak dalam Menuntut Ilmu

lalu, apakah hasil yang mereka peroleh sebagai imbalan dari ketamakan mereka terhadap ilmu? Mari kita simak dan ikuti beberapa kisah dan pernyataan berikut ini.

Diriwayatkan bahwa Ath Thabari pernah bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Apakah Anda mampu menafsirkan al Qur’an?”

“Berapa halaman?”

“Tiga puluh ribu halaman!”

“Kalau begitu, sampai engkau matipun pekerjaan itu tak akan terselesaikan!”

Akhirnya Ibnu Jarir mengurungkan niatnya dan meringkas menjadi 3.000 halaman, lalu beliau mengajarkannya selama 7 tahun.

“Hamba Allah selalu mengatakan, ‘Hartaku, hartaku’, padahal hanya dalam tiga soal saja yang menjadi miliknya yaitu apa yang dimakan sampai habis, apa yang dipakai hingga rusak, dan apa yang diberikan kepada orang sebagai kebajikan. Selain itu harus dianggap kekayaan hilang yang ditinggalkan untuk kepentingan orang lain,” (HR Muslim)

Ath Thabari telah menulis sebanyak 358 ribu halaman. Buku sejarahnya mencapai 3.000 halaman, begitu pula buku tafsirnya. Setelah dicetak, buku sejarahnya mencapai 11 jilid tebal, sedangkan tafsirnya mencapai 30 jilid tebal.

Dikatakan bahwa Ibnu Uqail mengarang sebuah buku berjudul Al Funun yang membahas berbagai masalah dan tebalnya mencapai 800 jilid.

Imam Ahmad bin Hambal telah menghafal 1.000.000 hadits. Ishaq bin Rahawaih mengumpulkan 100.000 hadits dan menghafal 30.000 hadits. Sementara itu, Imam Bukhari berkata, “Aku susun kitab al Jami’ ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun”.

Adapun imam Muslim berkata, “Aku saring kitab shahih ini yang disaring dari 300.000 hadits”.

Sedangkan imam Abu Daud mengatakan, “Aku mendengar dan menulis hadits Rasulullah saw sebanyak 500.000 hadits”.

Itulah hasil yang telah diperoleh para pendahulu kita karena tamak dalam menuntut ilmu. Dan sebagaimana kita lihat, prestasi itu hanya dalam beberapa bidang ilmu saja. Banyak para pendahulu kita yang mencapai sukses di bidang yang lain. Namun demi menjaga ketebalan buku ini, terpaksa tidak bisa saya sebutkan kisah-kisah mereka walaupun hanya sebagian.

Selasa, 15 Desember 2020

Kesungguhan Menuntut Ilmu - Belajar dari Kisah Sahabat dan Ulama Salaf

Kesungguhan Menuntut Ilmu para Ulama

Komponen kedua kesuksesan untuk bisa sukses belajar adalah kesungguhan menuntut ilmu. Untuk mendapatkan ilmu, para sahabat rela menempuh jarak yang jauh, sebagaimana kisah Umar bin Khattab berikut ini.


kesungguhan-menuntut-ilmu
Kesungguhan menuntut ilmu ulama salaf

Kisah Kesungguhan Sahabat dalam Menuntut Ilmu

“Aku dan tetanggaku dari kalangan Anshar bertempat di kampung Umayyah bin Zaid, sebuah kampung yang terletak jauh dari kota Madinah. Kami silih berganti mengunjungi Rasul. Hari ini tetanggaku yang menungunjunginya, hari esoknya aku yang pergi. 

Jika aku menungjungi, maka kau sampaikan kepada tatanggaku itu segala apa yang kudapatkan dari Rasulullah, demikian juga bila ia pergi, ia berbuat seperti yang kulakukan”.

Contoh lain kesungguhan menuntut ilmu adalah kisah perjalanan sahabat Rasulullah, Abu Ayyub al Anshari yang pergi dari Madinah menuju Mesir untuk menemui Uqbah bin Amir hanya untuk memastikan kebenaran hafalannya tentang hadits Rasulullah berikut :

“Siapa yang menutupi aib seorang muslim di dunia, maka Allah akan menutupi aibnya di akhirat kelak”. 

Setelah Uqbah memastikan kebenaran hafalannya Abu Ayyub, tanpa berlama-lama Abu Ayyub pulang kembali ke Madinah.

Perhatikanlah, hanya demi satu hadits, para sahabat rela menempuh perjalanan yang begitu jauh. Bagi mereka ilmu lebih mahal daripada mutiara, bahkan nilai ilmu tidak bisa dibandingkan dengan mutiara. Tapi mengapa pada saat ini kita menyia-nyiakan ilmu? Kenapa kesungguhan menuntut ilmu sekarang begitu kecil?

Kesungguhan Ulama Salaf dalam Menuntut Ilmu

Pada suatu hari Jabir bin Abdullah mendengar sebuah hadits baru, tetapi ia mendengarkan langsung dari sahabat Rasulullah. Maka ia pun segera membeli seekor unta, dan bergegas menuju Syam yang memakan waktu selama sebulan untuk menemui Abdullah bin Unais, sabahat yang meriwayatkan hadits tersebut.

Abu ‘Aliyah seorang tabi’in yaitu generasi setelah sahabat berkata, “Kami mendengar hadits dari sahabat Rasulullah saw yang ada di Bashrah (Irak). Kami belum merasa puas, kecuali kami pergi ke Madinah untuk mendengarnya dari mulut para penduduknya”.

Katsir ibnu Qais pernah duduk-duduk bersama Abu Darda di masjid Damaskus (Syiria). Kemudian mereka berdua didatangi oleh seseorang yang kemudian berkata, “Wahai Abu Darda, aku dari Madinah datang kepadamu untuk suatu hadits yang aku dengar engkau meriwayatkannya dari Rasulullah saw”.

Abu Darda bertanya, “Dagangan apa yang kau bawa?”

Orang itu mejawab, “Aku tidak membawa barang dagangan”.

Abu Darda bertanya kembali, “Apa yang kau bawa selain itu?”

Ia menjawab, “Aku tidak membawa apa-apa”.

Lihatlah, bagaimana kesungguhan menuntut ilmu pendahulu kita ini. Dia pergi dari Madinah ke Damaskus tanpa membawa apa-apa hanya karena satu tujuan: ilmu.

Amirul Mukminin fil hadits, Abu Abdullah Muhammad ibnu Ismail ibnu Ibrahim ibnu al Mughirah ibnu Bardizbah atau yang kita kenal dengan Imam Bukhari berkata,

“Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama empat tahun. Dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Bagdad untuk menemui ulama-ulama hadits”

Padahal kita tahu, Imam Bukhari tinggal di Bukhara, suatu wilayah di Asia Tengah yang jaraknya sangat jauh dari kota-kota yang beliau singgahi.

Contoh lain dari kesungguhan menuntut ilmu adalah kisah Abdullah bin Abbas, beliau pernah berkata, 

Setelah wafatnya Rasulullah saw, saya berkata kepada seorang sahabt Anshar, Nabi saw telah meninggalkan kita, tapi masih banyak sahabat yang hidup di antara kita. Mari kita temui mereka untuk bertanya dan mengingat kembali urusan-urusan agama”.

Sabahat Anshar berkata,

“Walaupun mereka masih hidup, bukankah orang-orang senantiasa bertanya kepadamu mengenai urusan-urusan agama?”

Ibnu Abbas berkata, 

“Saya merasa tertinggal jauh dalam perkara agama. Jika ada orang yang mengatakan bahwa dirinya mengetahui tentang ilmu agama atau mengaku telah mendengar (ilmu) langsung dari Rasulullah saw maka saya akan menemuinya dan membuktikannya. Dan saya tahu kebanyakan ilmu ada pada seseorang diantara kaum Anshar”.

Ibnu Abbas kemudian berkeliling menemui sahabat-sahabat senior untuk menanyakan keberadaan sahabat Anshar yang dimaksud. Akhirnya Ibnu Abbas mendengar kabar bahwa orang yang dimaksud sedang tidur di rumahnya. 

Ibnu Abbas berkata, “Kemudian aku menuju rumahnya, lalu kuhamparkan kain untuk duduk sambil menunggu di depan rumahnya hingga muka dan tubuhku kotor oleh debu dan pasir. Walaupun demikian, saya tetap duduk menunggu di pintu rumahnya. Setelah dia bangun, aku bertanya tentang kebenaran dirinya dan memberitahu tentang maksud kedatanganku kepadanya”.

Sahabat Anshar itu berkata, “Engkau adalah keponakan Rasulullah, kenapa engkau menyusahkan diri dengan tidak memanggilku?”

Ibnu Abbas menjawab, “Saya sedang menuntut ilmu, jadi sayalah yang wajib datang kepadamu”.

Sahabat sekalian, kisah ini mengajarkan kepada kita tentang kesungguhan menuntut ilmu sahabat kecil Rasulullah sekaligus keponakan beliau dalam menuntut ilmu.

Walaupun ia harus bersuah payah kesana-kemari mencari sumber ilmu tempat ia akan menimba ilmu darinya, kemudian ia harus berpanas-panas di bawah terik matahari yang disertai dengan siraman debu dan pasir, namun ia tak peduli.

Baginya ilmu adalah barang mahal yang sangat berharga, ia harus mencarinya dengan sekuat tenaga. Bak hendak mengambil mutiara, haruslah ia menyelam ke dasar samudra.

Adab Menuntut Ilmu

Kisah inipun mengajarkan kita masalah lain : adab menuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu hendaknya mendatangi sumber ilmu, bukan sebaliknya. Jika adab ini dijaga, ilmu akan tetap dipandang mulia. Namun seandainya pemilik ilmu mendatangi orang yang membutuhkannya, ilmu akan dipandang hina.

Setelah beberapa lama menetap di Naisaburi, Imam Bukhari kembali ke kampung halamannya, Bukhara. Kepulangan beliau disambut dengan meriah oleh penduduk Bukhara. 

Khalid bin Ahmad Az Zihli, penguasa Bukhara saat itu mengirim utusan kepada imam Bukhari agar beliau mengirimkan kitab shahih dan kitab tarikh kepadanya. Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan tersebut. 

Ia berpesan kepada para utusan itu, “Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke istana. Jika hal ini tidak berkenan di hati tuan, tuan adalah penguasa. Maka, keluarkanlah larangan agar aku tidak menyelenggarakan majelis ilmu. Dengan demikian, aku memiliki alasan di sisi Allah bahwa aku tidak menyembunyikan ilmu”.

Ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan tiba di Madinah, ia menyuruh prajuritnya memanggil seorang ulama di masjid Nabawi untuk menghadap kepadanya. Setiba di masjid Nabawi, penjaga itu hanya menemui seorang syaikh tua, dialah Sa’id bin Musayyab. Tetapi Sa’ide menolak memenuhi permintaan khalifah, ia berkata,

“Barangsiapa memerlukan sesuatu, seharusnya dialah yang datang. Di masjid ini ada ruangan yang luas kalau dia mau”.

Sahabat sekalian, demikianlah kesungguhan menuntut ilmu para pendahulu kita dan juga bagaimana mereka menjaga kewibawaan ilmu. Walaupun sarana transportasi yang ada pada waktu itu hanya unta dan kuda, berbeda dengan kita saat ini. Namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk menemui guru-guru utama yang bisa mengajari mereka ilmu dari tangan pertama.

Mari bersama belajar dari kesungguhan ulama salaf dalam menuntut ilmu.

Senin, 14 Desember 2020

Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Modal Sukses dalam Belajar

 

Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual

Mau sukses dalam belajar? modal pertama adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

kecerdasan-emosional-dan-kecerdasan-spiritual
Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual

Sahabat sekalian, ada dua hal yang harus kita persiapkan sebaik mungkin agar kita sukses dalam proses belajar : akal dan hati. Akal adalah alat penangkap ilmu sedangkan hati sangat berpengaruh terhadap keefektifan kerja akal.

Orang bisa saja sukses dalam belajar hanya dengan mengandalkan otaknya. Tetapi, jika kemampuan otaknya itu dibarengi dengan kebersihan hati, maka ia akan mendapatkan sukses ganda. Yang celaka adalah jika seseorang yang kotor hatinya tidak memanfaatkan secara maksimal otaknya.

Sekitar 4000 tahun yang lalu, Nabi Ibrahim sempat memanjatkan do’a di kota Makkah al Mukaramah, beliau berkata,

“Ya Allah, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Hikmah, serta mensucikan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dalam do’anya tersebut, Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar ia berkenan mengutus seorang rasul kepada penduduk Mekah, yang tugasnya adalah membacakan ayat-ayat, mengajarkan Al Kitab dan Hikmah, dan menyucikan hati mereka.

Utusan yang tidak hanya memiliki IQ ( Kecerdasan Intelektual ) tinggi, tapi juga memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual ( EQ & SQ ).

Selang 2000 tahun setelah Nabi Ibrahim berdoa’a, barulah Allah berkenan mengabulkan do’a beliau dengan mengutus pungkasan para nabi dan rasul Muhammad saw. Allah berfirman,

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan Al Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”

Perhatikanlah ayat di atas baik-baik! Bukankah dalam ayat ini Allah mengungkapkan kembali apa yang 2000 tahun sebelumnya pernah diungkapkan nabi Ibrahim, namun dalam susunan yang sedikit berbeda dengan do’a nabi Ibrahim.

Perhatikanlah! Jika dalam do’a nabi Ibrahim, tugas rasul yang dimaksud adalah membacakan-mengajarkan-mensucikan, namun dalam jawabannya, Allah merinci tugas rasul itu dengan susunan membacakan-mensucikan-mengajarkan.

Apakah perbedaan ini tidak berarti apa-apa, ataukah justru menyiratkan bahwa proses pembersihan hati harus didahulukan dari proses pengajaran? Karena kesuksesan dalam belajar sangat tergantung pada kebersihan hati. Mari kita renungkan masalah ini.

Kalau dulu banyak yang menaruh perhatian lebih kepada kecerdasan intelektual. Mereka beranggapan bahwa orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi maka dia bisa lebih mudah menjadi orang sukses. 

Tapi sekarang sudah berubah. Setelah diadakan penelitian, ternyata mayoritas orang sukses itu memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual lebih tinggi. Kalau dari IQ mereka bisa disebut biasa atau standar.

Kecerdasan emosional adalah kecerdasan untuk mengidentifikasi dan mengelola emosi pribadi dan juga mengidentifikasi emosi orang lain. Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi adalah orang yang memiliki softskill yang kuat dan komunikator yang baik.

Sedangkan kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memaknai setiap aktivitas dan kejadian. Dengan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, maka akan muncul ketenangan dan juga gairah yang baik dalam melakukan apapun. Setiap aktkivitasnya tidak hanya memakai ukuran dunia, tapi juga akhirat.

Di zaman ini, Barat telah mencapai kesuksesan dalam bidang ilmu pengetahuan karena mereka dengan bersungguh-sungguh memanfaatkan potensi akalnya.

Sementara itu, para pendahulu kita telah mendapatkan sukses ganda karena memanfaatkan karunia akal mereka secara maksimal yang disertai dengan kebeningan hati.

Dan kita, umat Islam kontemporer, benar-benar tidak memanfaatkan potensi akal kita. Sedangkan hati kita betul-betul terkotori oleh berbagai dosa yang sengaja disebar musuh-musuh Islam yang kemudian kita terperangkap di dalamnya.

Ada satu anekdot yang menceritakan bahwa di Jerman, diadakan pameran dan lelang otak manusia dari berbagai negara. Coba Anda tebak, otak bangsa mana yang harga jualnya paling mahal : Indonesia.

Apakah Anda terkejut dan bangga melihat hasil lelang tersebut? Kalau Anda terkejut, itu wajar. Tapi, kalau Anda bangga, itu babablasan. Otak orang Indonesia menjadi yang termahal karena jarang dipakai, sehingga kondisinya masih bagus. Dan barang bagus harganya mahal. Itu logikanya. Dan ini pelecehan bagi kita. Padahal, 80% bangsa Indonesia adalah muslim.

Sahabat sekalian, agar kita sukses dalam belajar, maka kita harus cerdas hati dan akal. Ini komponen pertama yang dimaksudkan imam Syafi’i. Kecerdasan yang tinggi tidak hanya dinilai dari IQ yang tinggi tapi juga EQ yang harus tinggi. Bukan hanya akal yang harus hebat, hati pun harus bersih.

IQ bersifat turunan, ia tidak bisa ditingkatkan lagi kapasitasnya. Sementara EQ, ia naik-turun kualitasnyas, tergantung pada kebaikan dan keburukan yang kita lakukan. Semakin banyak kebaikan yang kita lakukan, semakin tinggi kualitas hati. Semakin banyak berbuat dosa, semakin rendah kualitas hati. Inilah rahasianya, mengapa ketika kita belajar, pelajaran itu sulit masuk dan cepat keluar. Dosalah penyebabnya.

Maka, tinggalkanlah dosa kalau ingin kecerdasan Anda berlipat ganda.

Imam Syafi’i pernah bermadah, “Aku mengnadu kepada Waqi’ mengenai buruknya hafalanku, kemudian beliau memberikan petunjuk kepadaku agar aku meninggalkan kemaksiatan”.

Imam Waqi berkata, “ketahuilah, bahwa ilmu adalah suatu keutamaan, sedangkan keutamaan Allah tidak mungkin diberikan kepada orang yang berlaku maksiat.”

Dalam syair diatas, imam Syafi’i mengabarkan kepada kita tentang buruknya hafalan beliau. Susah ingat, mudah lupa. Kasus yang banyak menimpa kita saat ini.

Beliau kemudian mengadukan kondisi ini kepada gurunya, imam Waqi’. Imam Waqi’ kemudian memberikan nasihat agar imam Syafi’i menjauhi maksiat, karena maksiat itulah yang membuat hati kotor. Hal itu yang membuat akal tidak dapat berfungsi secara maksimal, karena kerja akal sangat dipengaruhi oleh kondisi hati.

Setelah menerima nasihat ini, imam Syafi’i menjauhi semua bentuk kemaksiatan. Hasilnnya cukup spektakuler. Ketika ia sedang berguru kepada imam Malik, imam Malik kagum atas kecerdasan otak dan kesempurnaan pemahamannya. Ia berkomentar, “Sungguh, aku telah melihat Allah memberikan cahaya di hatimu, karena itu jangan kau padamkan dengan gelapnya kemaksiatan”.

Demikianlah sahabat sekalian, jika kita telah meninggalkan kemaksiatan, akal dan hati kita akan lebih sensitif terhadap ilmu, sampai-sampai otak kita menjadi laksana kaset perekam. Ia dapat dengan mudah merekam apapun yang kita inginkan.

Imam Tirmidzi berkata, “Dalam perjalanan menuju Makkah al Mukarramah, saya telah menghafal dua juz hadits dari seorang syaikh hadits. Secara tidak sengaja, aku bertemu lagi dengan syaikh tadi. Aku memohon kepadanya agar ia mau mendengarkan dua juz kumpulan hadits. Syaikh tadi mengabulkan permohonanku. Dia tahu bahwa catatan hadits sebanyak dua juz tersebut telah ada padaku.

Setelah duduk di hadapannya, aku mulai membaca dari kertas-kertas yang kosong. Syaikh itupun mulai membaca (dari lembaran yang ia miliki).

Kemudian, ia melihat bahwa kertas yang kubaca adalah lembaran-lembaran kosong, maka iapun marah besar seraya berkata, “Kamu tidak tahu malu?”

Aku ceritakan semuanya bahwa aku telah menghafal semuanya, tapi ia tak percaya.

Kemudian syaikh tadi membacakan 40 hadits lainnya. Setelah selesai, aku mengulang 40 hadits tadi engan lancar tanpa kesalahan sedikitpun.

Sebelum keberhasilan Barat dalam dunia ilmu pengetahuan kontemporer, umat Islam telah meletakkan dasar-dasar keberhasilan itu pada abad pertengahan.

Pendidikan Islam masa itu telah berhasil mencetak banyak ulama multidisiplin. Yaitu ulama yang memiliki kemampuan dalam banyak bidang ilmu pengetahuan.

Teori tentang kecerdasan sekarang sudah berkembang. Dalam dunia pendidikan juga mulai dikenal kecerdasan majemuk. Dan para peneliti di dunia teknologi juga sedang mengembangkan kecerdasan buatan.

Yuk kita melatih kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual kita supaya lebih lebih baik sebagai modal sukses dalam belajar.

Bekal Mencari Ilmu Menurut Imam Syafi'i - Plus 10 Prinsip

Bekal Mencari Ilmu Menurut Imam Syafi'i Bekal mencari ilmu : Komponen keempat kesuksesan dalam menuntut ilmu adalah bekal. Bekal merupa...